BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah).Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an, Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga dibutuhkan ijtihad para mujtahid. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan lebih lanjut. Biasanya yang menjadi objek dari qiyas ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan cabang bukan pokok dari suatu perkara hukum syara`.
Biasanya untuk hal yang pokok telah dicantumkan hukumnya dalam al-quran maupun al-hadits. Qiyas menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan zaman. Untuk itu penganalogian masalah hukum dengan tetap memperhatikan al-quran dan hadits sebagai acuan pokok menjadi sangat penting untuk menghindari perpecahan dan kebutaan umat terhadap perkara hukum syara`. Maka diperlukan Qias sebagai sumberhukum islam yang ke 4. olehnya itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka kami merumuskan masalahnya pada hal-hal sebagai berikut :
1. Pengertian qiyas
2. Rukun-rukun qiyas
3. Dalil-dalil kehujjaan qiyas
4. Keraguan-keraguan penolakan qiyas
5. Syarat-syarat qiyas
6. Tempat berlakunya qiyas
C. Batasan masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah kami adalah :
1. Apa Pengertian qiyas?
2. Bagaimana rukun-rukun qiyas?
3. Apa Dalil-dalil kehujjaan qiyas?
4. Keraguan-keraguan penolakan qiyas?
5. Apa Syarat-syarat qiyas?
6. Dimana Tempat berlakunya qiyas?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Menurut bahasa, qiyas berarti “menyamakan” sedang menurut istilah ahli ushul, qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah di tetapkan oleh nash, karena adanya persamaan dalam illat (alasan) hukum, yang tidak bisa di ketahui dengan semata-mata memahami lafad-lafadnya dan mengetahui dilalah-dilalah bahasanya.
Sebenarnya, pengertian qiyas syar’i di atas di ambil dari pengertian bahasanya. Sebab qiyas menurut bahasa, berarti menyamakan. Perbedaan antara dua defenisis di atas adalah bahwa defenisi yang pertama menjelaskan bahwa qiyas dengan pengertian yang hakiki. Qiyas dalam pengertian ini adalah merupakan hujjah ilahiyah yang datang dari sisi Allah untuk mengetahui hukum-Nya, dan bukan perbuatan yang di datangkan bagi seseorng.
Adapun defenisi kedua,ia menegaskan makna qiyas secara majazi, yang merupakan amalan para mujahid, yang di tegakkan untuk membistimbathkan hukum syara’. Illat qiyas itu tidak dapat di ketahui dalam semata-mata memahami lafad dan maknanya tetapi memerlukan pada pencerahan pikiran dalam memperhaikan, beristidlal dan beristinbath hukum secara akal.
B. Rukun-Rukun Qiyas
Dari memahami dfenisi qiyas di atas, maka dapat di mengerti bahwa qiyas itu harus terdiri dari empat perkara, yang sekaligus merupakan rukun-rukunnya, yaitu :
1. Ashl (pokok) yaitu obyek atau masalah yang sudah ada hukumnya, berdasarkan ketetapan nash (Al-qur’an atau As-sunnah).
2. Far’u (cabang) yaitu obyek (masalah) yang akan di tentukan hukumnya, yaitu masalah yang belum ada hukumnya dalam nash.
3. Illat yaitu sifat yang menjadi motif (alasan) dalam menentukan hukum.
4. Hukum Al-ashl, yaitu hukum yang telah di tetapkan oleh nash.
Contoh: “Allah telah mengharamkan khamar dalam Al-qur’an. Menurut mazhab Hanafi Khamar adalah perasa’an anggur yang tidak di masak tetapi di biarkan sampai lama, sehingga keluar buihnya.ayat tersebut adalah :
Dalam contoh di atas, khamar merupakan perkara pokok yang telah tercantum hukumnya dalam nash, ia di pakai untuk menyamakan. Sedang nabidz merupakan furu’ (perkara cabang) yang huumnya tidak ada dalam nash. Ia di samakan hukumnya dengan khamar yang ada ketetapan hukumnya dalam nash.
Hukum haram merupakan hukum yang telah di tetapkan pada perkara pokok (khamar). Ia di berlakukan terhadap perkara furu’ (nabidz). Adapun perkara furu’; yakni keharaman nabidz, maka ia merupakan kesimpulan dari qiyas (membandingkan) dua perkara di atas.
C. Dalil-Dalil Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama telah mendatangkan dalil-dalil dari syariat untuk mendukung kehujjahan qiyas, dan sekaligus membantah golongan-golongan yang mengingkari dan peniadaan kehujjahan qiyas dalam syari’at golongan terakhir ini disebut nuffatul qiyas (penolak qiyas).
Berikut ini adalah dalil-dalil kehujjahan qiyas :
1. Bahwa syari’at islam datang untuk mengatur kehidupan manusia; memelihara hubungan mereka secar khusus maupun yang umum di antara individu dan masyarakat;
Allah yang maha suci tidaklah mengutus para nabi dan rasul kepada manusia kecuali sebagai rahmat alam semesta.Allah berfirman:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu ( muhammad ) malainkan sebagai rahmat bagi alam semesta (al-anbiya’:107)”.
2. Bahwa al-qur’an telah mempergunakan qiyas dalam mencukupkan dan menetapkan hujjah serta menjelaskan sebagai hukum dan menetapkannya jika sama, dan menghilangkannya jika berbeda.
3. Bahwa al-qur’an telah banyak menyuruh manusia untuk mengambil I’tibar (pelajaran) dalam berbagai peristiwa.
4. Bahwa para sahabat telah berjima’ atas kehujjahan qiyas.
5. Bahwa nash-nash al-qur’an dan as sunnah adalah terbatas dan sudah selesai sedangkan peristiwa-pristiwa atau kejadian-kejadian zaman tiada henti-hentinya terjadi.
D. Keraguan-Keraguan Penolak Qiyas
An-Nadhdham dari kalangan mu’tazilah, dan segolongan ulama syiah berpendapat bahwa qiyas tidaklah termaksuk hujjah dalam syari’at islam dasar mereka adalah:
1. Bahwa qiyas dalam syari’at (islam) tidak di perlukan. Sebab tidak ada tempat padanya. Nash-nash yang ada di dalam Al-qur’an ada yang menjelaskan sebagian hukum sesuatu dengan terang dan jelas. Seperti yang menyatakan wajib, haram, sunnat, makruh dan mubah.
2. Bahwa qiyas itu di tegakan di atas dhonni, sebagaimana di nyatakan Al-qur’an dan tidak boleh di amalkan, Allah berfirman:
artinya : “janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu sendiri tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu”.
3. Bahwa Allah, sebagaimana yang di katakana An-nadhdhom, telah membedakan di antara dua hukum yang serupa, yaitu ketika memotong tangan pencuri, tetapi tidak memotong tangan perampok. Memotong tangan jika yang di curi itu ada empat dinar, tetapi menjadikan diyatnya lima ratus dinar dan mewajibkan hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berzinah tetapi tidak mewajibkan hukuman atas orang yang menuduh kepada orang lain.
Dengan adanya perbedaan-perbadaan hukum di antara masalah-masalah ini adalah karena tidak adanya kesamaan illat yang menjadi dasar hukumnya.
E. Syarat-Syarat Qiyas
Qiyas itu di tegakan di atas empat rukun qiyas , yaitu perkara ashal, perkara furu’, hukum ashal dan illat hukum.
1. Syarat hukum ashal
a) Hukum ashal hendaknya di tetapkan oleh Al-Qur’an seperti keharaman khamar sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya atau hukum ashal hendaknya di tetapkan oleh hadist
b) Hukum ashal itu hendaknya dapat di salami akal (ma’kulul ma’na). Maksudnya akal mampu menentukan illatnya seperti keharaman khamar.
c) Hukum ashal hendaknya bukan merupakan hukum yang khusus. Sebab hukum yang khusus tidak bisa di berlakukan kepada furu’ dengan cara qiyas.
2. Syarat-syarat furu’
a. Tidak ada nash dan ijma yang menetapkan hukum furu’ sebab qiyas ketika terdapat nash atau ijma yang bertentangan dengannya, maa qiyas tersebut merupakan qiyas yang batal (fasid) dan berdasarkan kepada illat yang tidak di benarkan.
b. Antara furu’ dan ashal harus sama illat hukumnya, tidak ada berbedaan antara keduanya, sehingga tidak ada mengqiyaskan sesuatu dengan berbeda.
3. Syarat-syarat illat
Syarat-syarat illat yang telah di sepakati para ulama ushul itu ada empat macam:
a. Illat itu berupa sifat yang jelas
b. Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti
c. Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan hikmah hukum
d. Illat itu bukan hanya terdapat pada asal (pokok) saja.
F. Tempat Berlakunya Qiyas
Di lihat dari sebagian ulama bahwa qiyas berlaku pada semua hukum syari’ah, meskipun dalam perkara hudud, kafarat, taqditar ( hukum-hukum yang telah di tetapkan ) dan hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak membeda-bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum yang lain.
Dari golongan Hanafiayah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada masalah hudud ( pidana yang telah di tetapkan nash ) sebab ia termaksuk batas yang telah di tetapkan Allah, yang tidak bisa di ketahui illatnya oleh akal. Sedangkan qiyas juga syubhat, sebab ia menunjukan pada hukum dengan cara yang dhonni, bukan qat’hi. Maka uqubat yang telah di wajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang qat’hi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qiyas adalah menyamakan hukum suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan hukum perkara lain yang sudah di tetapkan oleh nash, karena adanya persamaan dalam illat (alasan) hukum, yang tidak bisa di ketahui dengan semata-mata memahami lafad-lafadnya dan mengetahui dilalah-dilalah bahasanya. Dengan demikian qiyas bisa dipandang sebagai prosese berfikir dalam rangka mengeluarkan hukum (istimbath), disamping itu qiyas juga sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya hukum oleh suatu kaidah yang sudah diakui kekuatan dan kebenarannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar