Jumat, 17 Februari 2012

Maqamat (Makalah)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dalam term tasawuf yang dimaksud maqamat berbeda dengan makam dalam istilah umum yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya 1) adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal' 2) biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat - wara - zuhud - tawakal - sabar dan Ridha.

B.     Rumusan masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada makalah kami adalah :
*      Pengertian maqamat
*      Jenjang maqamat
*      Maqamat sebagai jalan tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah
*      Tahapan-tahapan tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maqamat
Dalam term tasawuf yang dimaksud maqamat berbeda dengan makam dalam istilah umum yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya 1) adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal' 2) biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Banyak pendapat yang berbeda untuk mendefinisikan maqamat, diantaranya :
F Al Qusyairi, menjelaskan bahwa maqamat adalah etika seorang hamba dalam wushul (mencapai, menyambung) kepadanya dengan macam upaya, diwujudkan dengan tujuan pencarian dan ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat - wara - zuhud - tawakal - sabar dan Ridha.
F Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat - sabar - faqir - zuhud - tawakal - mahabah - ma'rifat dan ridha.
F At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat - Wara - Zuhud - faqir - sabar - ridha - tawakal - ma'rifat.
F Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya "Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf", sebuah kitab yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Arthur John Arberry dengan judul "The doctrine of the Sufi" 3) menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat - zuhud - sabar - faqir - dipercaya - tawadhu (rendah hati) - tawakal - ridho - mahabbah (cinta) -dan ma'rifat.
F Ibn Arabi dalam kitab Al futuhat Al Makiyah (The Meccan Revalation) 4) bahkan menyebutkan enam puluh maqam tetapi tidak memperdulikan sistematika maqam tersebut.
Maqam-maqam diatas harus dilalui oleh seorang sufi yang sedang mendekatkan diri kepada Tuhannya. Karena urutan masing-masing ulama sufi dalam menentukan urutan seperti yang tersebut di atas tidak seragam sehingga membingungkan murid, biasanya Syaikh (guru) tasawuf akan memberikan petunjuknya kepada muridnya.
Menjelaskan perbedaan tentang maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan "ahwal" sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang sering disebut adalah : takut , syukur, rendah hati, ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang diberikan sering berlawanan makna, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah (divine flashes), yang biasa disebut "lama'at".
B.     Jenjang Maqamat
Sebagai suatu kesadaran pribadi tentulah maqamat sangat bersifat subyektif.
Satu jenjang terlewati hanya dapat ditentukan oleh sufi yang menjalani
perjalanan tersebut. Tidak ada kriteria yang dapat dijadikan ukuran secara
pasti menyatakan bahwa, seorang calon sufi sudah melewati maqâm tertentu.
Ini pun, merupakan latihan pensucian dlamair (kesucian batin) itu sendiri,
dengan menimbulkan kejujuran pada diri sendiri. Tidak pernah seorang sufi
memberikan pengakuan bahwa dirinya sudah melampaui maqám tertentu, dan
sedang melangkah ke maqam berikutnya. Karena pernyataan itu bisa melahirkan
sikap ria dan kesombongan diri. Jelas hal ini bertentangan dengan maksud
pensucian dlamáir yang sedang dicapai oleh seorang sufi.
*      Proses pensucian dlamâir dimulai dari maqâm al-taubah. Seorang yang hendak melakukan pensucian dlamair hendaklah menghentikan dirinya dari pelbagai perbuatan dosa. Bahkan harus lahir sikap dan perasaan sudah terbebaskan dari beban mental akibat berbagai kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan. Tanpa perasaan tersebut, seseorang tetap merasa dirinya dalam keadaan kotor. Maka bertaubat di sini, dimaksudkan melepaskan diri dari perasaan bersalah, dan berdosa. Kemudian berjanji dengan sungguh sungguh tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan-dosa-lagi.
*      Bila perasaan taubat sudah diperoleh, maka seorang calon sufi baru meningkat ke jenjang kedua, yaitu al-wará’, yang merupakan usaha sekuat tenaga lahir batin untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang syubhât, sesuatu yang diragukan apakah halal atau haram. Jadi di sini, kemampuan ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi, bukan hanya meninggalkan yang haram, tetapi juga yang belum jelas halal atau haramnya. Hadits Nabi memang memperingatkan umat beriman untuk meninggalkan hal-hal yang syubhat ini, karena dikhawatirkan nanti-akan-jatuh-kepada-yang-diharamkan.
*      Jenjang ketiga yang harus dicapai, setelah timbul kebiasaan meninggalkan yang syubhat ini adalah maqâm al faqr, yakni tidak meminta sesuatu kepada Tuhan, melebihi apa yang telah ada pada diri sendiri. Maqâm faqr ini sebenarnya merupakan manifestasi dari ketundukan dan ketawadluan seseorang di hadapan Allah s.w.t. itulah sebabnya tidak akan meminta melebihi apa yang telah dimiliki. Bila masih terus meminta, padahal kebutuhan diri sendiri sudah tercukupi, dikhawatirkan akan menimbulkan sikap loba dan tamak yang pada gilirannya akan meruntuhkan dua jenjang yang terdahulu, yang benarti proses-pensucian-dlamair-menjadi-hancur-berantakan.
*      Jenjang keempat adalah maqam al-shabr. Maqam ini mengandung makna sabar dalam menjalankan perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala larangannya, dan juga sabar dalam menerima cobaan dari Allah. Kesabaran di sini diartikan dengan konsisten, tidak pernah bergeser, dan menenima dengan penuh kepasrahan segala ketentuan Allah. Sikap inii akan melahirkan kekuatan hati, dalam bentuk tidak pernah tergoncang dan mengeluh dalam menghadapi cobaan yang-datang,-bagaimanapun-beratnya.
*      Setelah jenjang al-shabr dilalui, maka seorang calon sufi meningkat ke maqam al-tawakkul. Yakni sikap penyerahan secara totalitas, lahir batin kepada Allah s.w.t., sehingga seorang sufi selamanya berada dalam suasana tentram. Bahkan dalam maqam ini akan lahir tingkat kepekaan kalbu yang sangat tinggi, yaitu perasaan tidak diperdulikan Allah bila tidak diberi cobaan. Maka cobaan Allah dipandang sebagai pernyataan cinta-Tuhan-kepadanya.
*      Maqam yang terakhir adalah maqam al-ridha, yakni mengeluarkan perasaan benci dari hati, sehingga yang tinggal dalam hati hanyalah perasaan senang dan cinta. Inilah yang disenandungkan, misalnya oleh al-Adawiyah dengan mengatakan, “Hatiku tidak punya tempat lagi untuk benci kepada syetan, karena telah dipenuhi oleh perasaan cinta kepada-Allah”.
C.    Maqamat Sebagai Jalan Tasawuf Untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah
Tujuan para sufi dalam bertasawuf, adalah untuk beroleh hubungan langsung
dan disadari dengan Allah, Rabb al-Alamin. Kesadaran tersebut dihayati
sebagai sungguh berada pada hadirat Allah s.w.t. serta merasakan kelezatan
berdialog atau berbisik-bisik dengan-Nya.
Kelezatan berdialog dengan Tuhan hanya mungkin dirasakan secara rohaniah
melalui sujud dan mendekatkan diri kepada-Nya. Allah berfirman, Sujudlah dan
dekatkanlah diri engkau dengan kepada Allah (Q.S. a1-Alaq/96:19).
Rasa dekat dengan Tuhan bisa mencapai situasi spiritual bersatu dengan
Tuhan, yang juga harus dipahami dan ditempatkan dalam makna spiritual juga.
Pernyataan Allah dalam al-Quran, “Dialah yang Awal, Dialah yang Akhir,
Dialah yang Zhahir, dan Dialah yang Batin”. Pernyataan bersatu dengan Allah
dalam konsep para sufi adalah timbulnya kesadaran total berada dalam hadirat
dan kekuasaan Allah, faná’ dalam kebesarannya, serta tenggelam dalam baqa. .
Bukan dalarn pengertian ketercampuran zat Allah yang immateri dengan zat
manusia yang materi.
Di sini berlaku dasar pernikiran bahwa Allah, Dia Yang Maha Suci, hanya bisa
didekati oleh yang suci. Sesuatu yang kotor tidak bisa mendekati Maha Suci.
Maka dasar aktifitas tasawuf diletakkan pada kesucian, kesucian lahir
(al-zhawahir, eksotenis) maupun kesucian batin (al-dlamair, esoteris). Namun
perlu diberi catatan, bahwa kesucian batin lebih diutamakan daripada
kesucian lahir.
Maka dalam mencapai tingkat kesufian, para calon sufi haruslah melalui
perjalannan panjang untuk membersihkan dlamairnya. Berbeda dengan pensucian
zhawahir, pensucian dlamair itu lebih sulit dan lebih memakan waktu. Karena
pensucian dlamáir itu, seorang ‘ábid (hamba) berusaha sekuat tenaga
menundukkan diri dan hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tersebut dijinakkan
untuk mencapai jalan yang diridlai Allah s.w.t. Perjalanan panjang dalam
proses pensucian dlamair itu dikenal dengan istilah maqámát, yang dalam
pemahaman para sufi mengandung makna jenjang-jenjang pencapaian kesadaran
kesufian untuk sampai ke tingkat kedekatan dan kebersatuan dengan Tuhan.
D.    Tahapan-Tahapan Tasawuf
Sebagai bahan untuk memahami mengenai tahapan-tahapan
Tasawuf, kami memuat tulisan tulisan Drs. Mahjuddin, dosen tetap pada
Fakultas Tarbiyah Jember, IAIN “Sunan Ampel” dalam bukunya “Kuliah
Akhlaq-Tasawuf” dan diterbitkan oleh Penerbit Kalam Mulia, Jakarta Pusat 10560
Tahapan-Tahapan Tasawuf
      Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran
Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai “As-Sa’aadah”
menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin ‘Arabiy.
Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.
      Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai
berikut:
1)      Syariat
      Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar
Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan
oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.”
      Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL-Kurdiy mengatakan:
“Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang
telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-Qur’an dan Sunnah ataupun
dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diternagkan dalam ilmu
Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.”
      Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid;
meliputi keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya, Hari
Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan dinyatakan dalam
perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah; dan
meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan makruh.
      Dan hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi seluruh perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut “ibadah mahdhah” atau taqarrub (ibadah murni atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesama
manusia dan makhluk lainnya, yang disebut “ibadah ghairu mahdhah” atau “ammah”
(ibadah umum).
      Kemudian hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi
sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan
najis serta maksiat yang nyata dengan istilah “At-Takhali”. Lalu berusaha
melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan terpuji, dengan istilah “At-Thalli”.
      Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan dalam
pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang
tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena
itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya perbuatan
manusia yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid. Penomena keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.
2)      Tarekat
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat
atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau
“Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga
macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan
tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang
sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai
dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang
tidak (batin).
3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal
mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang
diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di
bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan
suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan
Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah
Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai
suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat”
dan “Al-Ahwaal”.
b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran
yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu.
Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut
aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu
amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan
kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara
bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu
tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun
kedua istilah ini ada segi prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga
disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat
dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi
organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk
tidak sama.
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan
dari dua segi:
a)      Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara
pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di
samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh
manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak
pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.
b)      Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan
lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia,
dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan
bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat
yang membedakannya beserta alasan-alasannya.
Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj  mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh,
sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.
Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan
sebagai berikut:
a)      Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b)      Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang syubhat (Al-Wara’);
c)       Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
d)     Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
e)       Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
f)        Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
g)      Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).
Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;
a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d). Tingkatan takut (Al-Khauf)
e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah  (Al-Unsu).
h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i). Tingkatan Perenungan  (Al-Musyaahaah)
j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).
3)      Hakikat :
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau
dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:
a)      Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan :
“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai
suatu tujuan …sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan
mata hatinya”.
b)      Imam Al-Qasyairiy mengatakan:
“Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan,
disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada
hamba-Nya”.
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu
menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena
itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
1)      “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan
indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran
Allah sebagai penciptanya;
2)      “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis
pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3)      “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi
tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya
mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung
disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal”.
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal
Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.
4)      Marifat :
Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka
istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam
dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan:
“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib
adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth
Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
“Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)…dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi…”
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:
“Ma’rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat
ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka
meningkat pula ketenangan (hatinya).”
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki
tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang
mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai
kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:
a)      Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.
Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b)      Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c)      Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
         Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
         Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat
ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah
di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah
larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin,
kecuali hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna
gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut  (hulul) dalam Tuhan-nya selalu
menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang
Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya
kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan
yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan
Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
         Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat,
Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk
pula secara terputus-putus.
         Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.
















BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
*      Maqam arti dasarnya 1) adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal' 2) biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
*      Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran
Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai “As-Sa’aadah”
menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin ‘Arabiy. Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar